Konon dahulunya, di kaki Gunung Tinjau hidup satu kaum. Kaum itu dipimpin oleh Datuak Limbatang. Kaum Datuk Limbatang terdiri dari beberapa keluarga. Salah satu dari keluarga itu adalah keluarga Siti Rasani.
Siti Rasani (Sani) adalah anak bungsu dalam keluarga. Ia satu-satunya wanita dalam keluarga itu. Kakaknya berjumlah Sembilan orang. Semuanya laki-laki. Oleh sebab itu, kakaknya ini dikenal dengan Bujang Sembilan. Sang kakak sangat menyayangi Sani. Semuanya sayang kepada Sani. Akan tetapi cara menyayangi adik perempuan itu berbeda-beda.
Sejak kecil, Sani dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan. Budi pekerti yang baik, adat yang baik, perangai yang sempurna, dan berbagai pendidikan sudah tertanam di dalam diri Sani sejak kecil. Oleh kerena itu, ia tumbuh menjadi gadis yang berbudi pekerti luhur dan berkepribadian menawan dinagari di kaki Gunung Tinjau itu.
Sani kecil tumbuh menjadi remaja yang cantik. Ia sangat cantik, secantik budi dan bahasanya. Ia tumbuh menjadi gadis yang lembut, sopan, dan penuh pengertian. Hormat kepada orang tua, sayang kepada yang kecil, santun sesama besar menjadi pakaiannya sehari-hari dalam hidup. Pantaslah, jika banyak orang tertarik kepadanya.
Ibarat sekuntum bunga, Sani dipuja banyak orang. Banyak kumbang yang meminatinya. Banyak lamaran yang datang kepadanya. Tentu saja kesembilan kakaknya memperhatikan hal itu. Bahkan sangat hati-hati dalam memilih calon suami Sani. Apalagi Sani merupakan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga.
Ketika Sani memasuki usia remaja itu, diam-diam dia menjalin kasih dengan Giran. Giran adalah seseorang pemuda ganteng dan memiliki kepribadian yang baik pula. Ia adalah anak Datuk Limbatang. Anak mamak Bujang Sembilan dan Sani. Ketika hubungan kasih kedua insan itu diketahui oleh kakaknya, kesembilan kakak itu mengadakan musyawarah. Mencari kata mufakat untuk memilih dan menetapkan jodoh untuk sang adik.
Musyawarah dilakukan dua kali. Musyawarah pertama dihadiri oleh Datuk Limbatang sebagai mamak. Musyawarah kedua, Datuk Limbatang tidak ikut. Ia menyerahkan kepada kesembilan kakak Sani. Datuk Limbatang akan menerima keputusan yang diambil dalam musyawarah itu. Apapun keputusannya, Datuk Limbatang akan menerimanya. Hal ini ia lakukan, karena Giran adalah anak kandungnya.
Hampir semua orang dari sembilan saudara itu menyepakati menerima Giran sebagai calon suami Sani.
Akan tetapi ada seseorang kakak yang bernama Kukuban , tidak sependapat. Kukuban tidak setuju, kalau Si Giran menjadi jodoh si Sani. Alasannya cukup meyakinkan, yaitu Giran pernah menciderai Kukuban.
Kukuban memperkuat alasannya. Tiga tahun yang lalu pada waktu itu, setelah hasil panen mereka melimpah, para ketua adat mengadakan sebuah acara lomba silat dan perhelatan yang lainnya. Para remaja pria beramai-ramai mendaftarkan diri untuk mengikuti uji ketangkasan, termasuk Kukuban dan Giran. Satu per satu para peserta yang lain dapat dikalahkan dengan mudah oleh Kukuban , sampai kemudian tibalah saatnya dia berhadapan dengan Giran. Giran berusaha menangkis serangan Kukuban yang membabi buta karena ingin menjuarai perlombaan tersebut. Hingga kemudian tangkisannya malah menyebabkan salah satu kaki Kukuban patah dan akhirnya kalah. Sejak saat itu, Kukuban menyimpan dendam dalam hatinya kepada Giran.
Mendengar keputusan sang kakak, Sani menjadi bersedih hati. Setiap hari dia mengurung diri dan melamun di dekat jendela. Hingga suatu hari, Sani dan Giran berjanji untuk bertemu di tempat yang biasa. Mereka saling mengutarakan kegundahan dan kesedihan hati masing-masing. Ketika hendak beranjak pulang, kain Sani tersangkut duri pohon, sehingga kakinya terluka dan berdarah. Giran segera mengobati luka Sani tersebut. Namun kemudian dari balik semak-semak muncullah Kukuban beserta orang sekampung yang menuduh mereka telah melakukakan perbuatan yang tidak senonoh.
Sani menangis melihat abang-abangnya telah berubah menjadi garang. Giran berusaha menjelaskan bahwa tadi dia hanya mengobati luka di kaki Sani. Namun dendam telah membutakan hati Kukuban, sehingga dia tidak mau mendengar pembelaan diri sang adik.
Maka ketika mereka dihadapkan pada sidang dengan para ketua adat, kesaksian Kukuban dan bujang Sembilan lainnya memberatkan tuduhan mereka, sehingga akhirnya sidang tersebut memutuskan bahwa Sani dan Giran bersalah. Mereka pun dihukum dengan cara diarak-arak menuju kawah Gunung Tinjau.
Ketika sudah berada dipinggir kawah, Giran berdoa dengan lantang, “ya Tuhan, jika memang kami bersalah, maka biarkan badan kami hilang di kawah ini. Tetapi jika kami tidak bersalah, maka buatlah mereka terkena panasnya lava”.
Usai berkata demikian, Giran dan Sani menceburkan diri mereka ke dalam kawah. Dan tak menunggu berapa lama, Gunung Tinjau bergetar dengan hebat, dan kawah tersebut menyemburkan lahar yang panas,semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Akibat dari letupan yang hebat tersebut, terbentuklah sebuah kawah yang sangat luas, yang kemudian berubah menjadi sebuah danau yang diberi nama Danau Maninjau.
Untuk mengigat dan mengenang peristiwa tersebut, masyarakat di kaki gunung itu memberikan nama-nama negeri dan desa sesuai dengan nama keluarga atau kaum yang menghadapi tragedi itu.
Nama-nama itu adalah:
Sungai Batang untuk Datuk Limbatang
Sigiran untuk Giran
Tanjung Sani untuk Siti Rasani
Bayur untuk Panglimo Bayur
Koto Malintang untuk Malintang
Batang Kurambik untuk Kurambi
Simarasok untuk Marasok
Rambun Bamaniak untuk Rambun
Gasang untuk Gasang
Begitulah seterusnya, semua desa dan negeri itu terletak di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam.
Post a Comment